LEMBAGA
KEUANGAN INTERNASIONAL
1.PERANAN BANK DUNIA DI INDONESIA, 4 MEKANISME KERJA DI
LEMBAGA TERSEBUT!
2. PERANAN BANK PEMBANGUNAN ASIA DI INDONESIA, 4
MEKANISME KERJA DARI LEMBAGA TERSEBUT!
Sejarah Bank Dunia
Bank Dunia
adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada di bawah
PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk tahun
1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS.
Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan
dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari
dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan
membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak
tahun 1960-an, pemberian pinjaman difokuskan kepada negara-negara non-Eropa
untuk membiayai proyek-proyek yang bisa menghasilkan uang, supaya negara yang
bersangkutan bisa membayar kembali hutangnya, misalnya proyek pembangunan
pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank
Dunia banyak dikucurkan kepada negara-negara Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal
untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara tersebut. Pada era itu, pinjaman
negara-negara Dunia Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20% setiap tahunnya.
Peran Bank Dunia dalam Ekonomi dan
Politik Global
Rittberger
dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah
konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian antara
negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya
negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat.
Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of
welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan
cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis
keuangan Bank Dunia adalah modal yang diinvestasikan oleh negara anggota bank
ini yang berjumlah 186 negara. Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia
adalah AS, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak
menempatkan masing-masing satu Direktur Eksekutif dan merekalah yang akan
memilih Presiden Bank Dunia. Secara tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang
AS karena AS adalah pemegang saham terbesar. Sementara itu, 181 negara
lain diwakili oleh 19 Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi
wakil dari beberapa negara).
Bank Dunia
berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi liberal pasca Perang
Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41). Pembangunan kembali tatanan ekonomi
liberal itu dipimpin oleh AS dengan rancangan utama mendirikan sebuah tatanan
perdagangan dunia liberal. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan
moneter yang berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan
Zangl (2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara
untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan mempertahankan
standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga
yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF (International
Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for Reconstruction dan
Development). IBRD inilah yang kemudian sering disebut “Bank Dunia”. Pendirian
Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti oleh pembentukan tatanan perdagangan
dunia melalui lembaga bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
pada tahun 1947. Pada tahun 1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade
Organization).
Meskipun
tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun dalam prakteknya,
Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena hampir semua negara di
dunia menjadi penerima hutang dari Bank Dunia. Sejak awal beroperasinya, Bank
Dunia sudah mempengaruhi politik dalam negeri negara yang menjadi
penghutangnya. Penerima hutang pertama Bank Dunia adalah Perancis, yaitu pada
tahun 1947, dengan pinjaman sebesar $ 987 juta. Pinjaman itu diberikan dengan
syarat yang ketat, antara lain staf dari Bank Dunia mengawasi penggunaan dana
itu dan menjaga agar Perancis mendahulukan membayar hutang kepada Bank Dunia
daripada hutangnya kepada negara lain. AS juga ikut campur dalam proses
pencairan hutang ini. Kementerian Dalam Negeri AS meminta Perancis agar
mengeluarkan kelompok komunis dari koalisi pemerintahan. Hanya beberapa jam
setelah Perancis menuruti permintaan itu, pinjaman pun cair.
Kebijakan
yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi
suatu negara, disebut SAP (Structural Adjustment Program). Bila negara-negara
ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima
hutang melakukan “perubahan kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara
tersebut gagal menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan
kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas, privatisasi,
dan deregulasi.
Karena
adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap politik dan
ekonomi dalam negeri Indonesia juga sangat besar, sebagaimana akan diuraikan
berikut ini.
Kinerja Bank Dunia di Indonesia
Bank Dunia
telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat ini, Bank Dunia
telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan senilai 26,2
milyar dollar atau setara dengan Rp243,725 triliun (dengan kurs Rp9.302 per
USD). Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008),
pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung
pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling
mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya
kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7
Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak
mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro
(2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin
Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33
negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia.
CGI “membantu” pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman
uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas
ekonomi liberal.
Dalam hal
ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan
negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang
proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara
kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk
memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti
Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada Indonesia.
a.
Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya
jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus
mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya. Sebagai illustrasi,
dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8
trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk
pembayaran utang dalam dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi
hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran
belanja tersebut, anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami
penurunan sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun.
Sedangkan
alokasi untuk pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.
Anggoro (2008), peneliti dari Institute of
Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena menerima
pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
– Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
– Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini
juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga keuangan
internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan
pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara
yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang
sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar
dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas
ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja
Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan
negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan secara
detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”. Perkins adalah
mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main,
yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan
proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal
dari hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Mengenai
pekerjaannya itu, Perkins (2004: 13-16) menulis, “…saya mempunyai dua tujuan
penting. Pertama, saya harus membenarkan (justify) kredit dari dunia
internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main
dan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone
& Webster) melalui proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua,
saya harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman
raksasa tersebut (tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor Amerika
lainnya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh para
kreditornya, dan dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi
target yang mudah ketika kita memerlukan yang kita kehendaki seperti
pangkalan-pangkalan militer, suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber
daya alam lainnya.”
Dalam
wawancaranya dengan Democracy Now! Perkins mengatakan, “Pekerjaan utama saya
adalah membuat kesepakatan (deal-making) dalam pemberian hutang kepada
negara-negara lain, hutang yang sangat besar, jauh lebih besar daripada
kemampuan mereka untuk membayarnya. Salah satu syarat dari hutang itu
adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk negara seperti Indonesia atau
Ecuador—negara ini harus memberikan 90% dari hutang itu kepada perusahaan AS
untuk membangun infrastruktur, misalnya perusahaan Halliburton atau Bechtel.
Ini adalah perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan ini kemudian akan membangun
jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan tol, dan ini hanya akan melayani
segelintir keluarga kaya di negara-negara itu. Orang-orang miskin di sana akan
terjebak dalam hutang yang luar biasa yang tidak mungkin bisa mereka bayar.”
Untuk
kasus Ekuador, Perkins menulis, negara itu kini harus memberikan lebih dari 50%
pendapatannya untuk membayar hutang. Hal itu tentu tak mungkin dilakukan
Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS meminta Ekuador agar memberikan ladang-ladang
minyaknya kepada perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di
kawasan Amazon yang kaya minyak.
Tak heran
bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank
Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin,
lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz,
Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut,
sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan
kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.
Melihat
kinerja seperti ini, menurut Anggoro (2008), Bank Dunia sesungguhnya telah
melanggar Piagam PBB yang menyebutkan, “to employ international machinery for
the promotion of the economic and social advancement of all peoples”. Dengan
kata lain, Bank Dunia sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk
membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan
operasinya pada penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan
multinasional, dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan hutang tak
berkesudahan
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar